A.
PERUSAHAAN
MIGAS ASING DI INDONESIA
Berdasarkan data Dirjen Migas tahun
2009 menyebutkan, perusahaan penguras minyak utama di Indonesia didominasi
perusahaan asing. PT Chevron Pacific Indonesia, perusahaan minyak asal AS ini
menempati urutan pertama sebesar 44%. Sementara Pertamina dan mitra hanya
sebesar 16%.Posisi ketiga ditempati Total E&P sebesar 10%. Selanjutnya,
Conoco Philip 8%, Medco 6%, CNOOC 5%, Petrochina 3%, British Petrolium 2%, Vico
Indonesia 2%, Kodeco Energy 1% dan perusahaan lainnya 3%.
Sementara itu, berdasarkan data
2010, Chevron hanya memiliki wilayah kerja 8.700 kilometer persegi, tingkat
produksi Chevron telah mencapai 41,30 barel per hari per kilometer persegi.
Chevron masih menjadi produsen minyak bumi dan gas terbesar di Indonesia dengan
kapasitas 356 ribu barel per hari.
Sementara itu, Total EP Indonesia
hanya memiliki luas wilayah 3.121 kilometer persegi, namun produksi per luas
wilayah perusahaan asal Prancis ini mencapai 28,64 barel per hari per kilometer
persegi. Total EP memproduksi migas 82.232 barel per hari, atau 9.768 barel
lebih rendah dari target sebesar 92 ribu barel.
Laju pengurasan minyak Pertamina EP
pada 2010 baru mencapai 4,46 persen, masih kalah dibandingkan Chevron 8,8
persen, ConocoPhillips (Amerika) yang sebesar 55,1 persen, dan CNOOC (China)
21,4 persen. Berdasarkan evaluasi, data laju pengurasan minyak Pertamina EP di
bawah rata rata nasional, yaitu 8,8 persen.
Sementara, Badan Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) mengatakan, tingkat pengurasan cadangan
minyak Indonesia ternyata sangat tinggi, mencapai delapan kali laju pengurasan
di negara-negara penghasil minyak utama dunia, seperti Arab Saudi dan Libya.
Produksi Semakin Turun
Penemuan cadangan minyak yang
berukuran cukup besar di Indonesia umumnya terjadi di Indonesia barat. Misalnya
Lapangan Minas, Duri, dan terakhir Cepu. Pengurasan cadangan Minas sudah
dilakukan sejak tahun 1950-an dan mencapai puncaknya pada 1975 - 1976 dengan
tingkat produksi di kisaran 250 ribu barel per hari dan menjadi penyumbang
terbesar terhadap produksi nasional 1,5 juta barel per hari.
Sejak saat itu produksi Minas terus
menurun dan kini hanya menghasilkan sekitar 70 ribu barel per hari. Penurunan
dari Minas ini masih ditutupi dari pengurasan cadangan Duri yang dimulai
sekitar tahun 1980-an dengan tingkat produksi 400 ribu barel per hari dan
membuat produksi nasional kembali mencapai puncaknya di tahun 1995- 1996 dengan
produksi sebesar 1,6 juta barel per hari.
Selanjutnya lapangan Duri-pun terus
menurun produksinya seiring dengan menipisnya jumlah cadangan yang tersisa.
Kini kedua lapangan Minas dan Duri hanya menghasilkan sekitar 360 ribu barel
per hari.
Penemuan lapangan minyak lainnya
ukurannya jauh lebih kecil. Sebaliknya eksplorasi yang belakangan ini gencar
dilakukan di Indonesia timur menghasilkan penemuan cadangan-cadangan gas dalam
jumlah besar, bukan minyak. Misalnya Tangguh, area deepwater Selat
Makassar (Gandang, Gendalo, Gehem, dan lain-lain), Masela (Laut Timor), dan
terakhir oleh Genting Oil di Bintuni.
Dari dua kenyataan itu, maka
cadangan terbukti minyak nasional Indonesia terus menyusut dalam 10 tahun ini
dari 4,3 miliar barel menjadi 3,9 miliar barel. Sementara cadangan gas kita
masih tetap tinggi, lebih dari 104 triliun kaki kubik.
(http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=7833&type=6)
SPBU Asing
Makin Diuntungkan
Karena subsidi bahan bakar minyak (BBM) dirasa kian membebani APBN, Wakil
Presiden Boediono menyampaikan bahwa pemerintah telah menetapkan Indonesia
harus bebas subsidi BBM di tahun 2015. Kebijakan tersebut bisa dilakukan secara
per lahan dengan membatasi persediaan BBM bersubdsidi semacam premium.
Kedepannya, premium beredar di semua Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU)
akan sesuai dengan harga pasar tanpa subsidi. Bebas bersubsidi juga diartikan,
masyarakat Indoensia akan dipaksa konversi dari premium ke pertamax.
Pembatasan telah dilakukan pemerintah beberapa waktu lalu dengan berbagai
program. Diantaranya berbentuk himbauan terhadap kendaraan pribadi untuk
menggunakan BBM non-subsidi yakni pertamax. Himbauan ini berimplikasi terhadap
kalangan menangah atas melakukan konversi dari premium ke pertamax. Pembatasan
dan pencabutan subsidi juga akan berdampak pada semua kalangan masyarakat
melakukan konversi dari premium ke pertamax. Hal ini karena, perusahaan asing
ikut campur dalam kebijakan pemerintah. Pihak asing lah yang berada di
belakang pengurangan subsidi BBM karena mereka punya kepentingan dalam
memperluas ekspansinya di berbagai negara dunia ketiga.
Pertamina merupakan perusahaan minyak berplat merah punya monopoli dalam
pendisitribusiannya. Namun, sejak dibukanya kebijakan perdagangan bebas BBM di
Indonesia pada tingkat hilir, Pertamina tak memegang kuasa monopoli lagi.
Akibatnya, SPBU-SPBU asing banyak beroperasi di beberapa kota besar menjual
pertamax. Faktanya tahun 2007, SPBU Shell milik perusahaan Belanda mendirikan
20 SPBU di Jakarta, Tangerang dan Depok. Sementara SPBU Petronas milik
perusahaan Malaysia memiliki 11 SPBU di wilayah Jabodetabek. Tahun 2008, 4 SPBU
Petronas beroperasi di kota Medan, lalu menjalar ke kota Bandung.
Chevron sebentar lagi akan merajai pasar minyak di tingkat hilir
Indonesia. Sehigga SPBU asing akan banyak berdiri, Pertamina akan kewalahan
menghadapi pesaing-pesaing tersebut. Pada awal dibukanya saja, Pertamina
buru-buru melakukan penataan manajemen di semua SPBU, terutama yang berdiri di
kota-kota besar menghadapi persaingan tingkat hilir. Di tingkat hulu saja,
Pertamina sudah kalah, di tingkat hilir pun pasti akan kalah.
Lebih gila lagi kelakuan BP Migas tahun 2006 pernah berrencana membuka
lelang public service obligation BBM bersubsidi bagi SPBU asing.
Tentunya perusahaan minyak asing tidak mau menjual BBM bersubsidi ke Indonesia.
Mereka juga punya warga yang harus disubsidi di negaranya.
Pada awal kemerdekaan Malaysia, Petronas banyak berguru kepada Pertamina.
Sekarang sang guru diinjak-injak oleh sang murid. Tengok saja yang telah
dilakukan Malaysia terhadap Pertamina yang akan membuka SPBU di negeri tetangga
itu, Malaysia mempersulit izin dan membebankan biaya lebih mahal dibanding
Petronas yang membuka SPBU di Indonesia.
Penjualan pertamax di Indonesia yang diraup SPBU asing tadi
mengalahkan Pertamina. SPBU asing bisa menjual 70 kilo liter per hari,
Pertamina hanya mampu menjual 10-20 kilo liter per hari. Itu baru awal, jika
BBM bersubsidi sudah dicabut, Pertamina bisa collapskarena masyarakat
memiliki satu pilihan jenis BBM dan banyak memilih SPBU asing.
Saat ini saja, 40 perusahaan minyak asing sudah memiliki izin mendirikan
SPBU di Indonesia. Masing-masing perusahaan memiliki hak mendirikan 20 ribu
SPBU. Berarti 800 ribu SPBU asing akan berkeliaran di wilayah Indonesia. Tak
hanya Shell dan Petronas saja, Exxon Mobill dan Chevron juga akan memiliki
banyak SPBU.
Indonesia sudah kalah dalam berbagai perekonomian karena kapitalisme yang
dilancarkan pihak asing. Atas nama persaingan global, Indonesia mau saja
dikelabui oleh asing. Padahal Karl Marx dulu pernah menggarisbawahi, betapa
jahatnya perdagangan bebas atau persaingan globat itu. Marx melihat dengan mata
sendiri bagaimana negara maju menjajah negera berkembang dengan persaingan
global.
Indonesia sebagai negara berkembang atau negara dunia ketiga tidak mampu
bersaing dengan negara-negara maju. Apalagi, bangsa Indoensia lebih menyukai
produk asing dibanding dengan produk dalam negeri. Pembentukan seperti itu
bukan hanya faktor internal saja, tapi faktor eksternal dengan intervensi asing
bisa membentuk bangsa seperti ini. Akibatnya, kini Negara Indonesia sudah
tidak bisa lagi menguasai sumber-sumber alam dari mulai tingkat hulu hingga
tingkat hilir.
(http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/04/04/spbu-asing-makin-diuntungkan/)
SPBU asing tertawa, rakyat kecewa
Padahal sudah diketahui Pasal 33 UUD 1945 mengisyaratkan bahwa kekayaan
alam yang menguasai hajat hidup orang banyak di bumi nusantara ini, sepenuhnya
dikuasai negara dan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Perlu dicatat bahwa minyak mentah yang berada di perut bumi negeri ini
adalah milik rakyat tanpa pandang bulu baik kaya maupun miskin. Pemerintah c/q
Pertamina hanya diamanatkan rakyat untuk mengelolanya dengan baik demi
kesejahteraan bangsa. Di mana, jika hasil kelolaannya harus ditebus oleh rakyat
dengan basis harga keekonomian atau pasar bebas tentu rakyat akan menjerit,
lantaran imbasnya akan memicu harga barang lainnya jadi meroket. Oleh
karenanya, perlu subsidi atau bantuan dari pemerintah. Apa pun alasannya,
mencabut subsidi BBM akan berimplikasi memberatkan ekonomi masyarakat, terutama
lapisan bawah.
Menurut Dewan Pakar Masyarakat Ketenagalistrikan Wilayah Jawa Timur,
beralih dari BBM ke BBG atau energi alternatif lainnya untuk transportasi
adalah pilihan yang mau tidak mau ke depannya harus dilaksanakan. Karena,
kekayaan alam berupa minyak bumi–energi fosil-cadangannya semakin menipis.
Pemerintah menyadari bahwa tidak seluruh pemilik mobil pribadi akan mampu
membeli BBM nonsubsidi. Oleh sebab itu, Menteri ESDM mengimbau agar masyarakat
yang demikian beralih saja ke BBG dan atau berpaling menggunakan transportasi
umum yang lebih murah.
Ide ini aneh. Masyarakat bukannya tidak mau, namun tahu sendiri, apa
sarana dan prasarana untuk itu semua sudah tersedia dengan memadai? Ibaratnya,
orang lagi lapar ditawari makan, tapi makanannya tidak tersaji, bisa ngamuk
mereka. Jadi seyogianya pemerintah mengadopsi slogan Perum Pegadaian,
“Mengatasi Masalah Tanpa Masalah”. Kebijakan pembatasan hanya menguntungkan
SPBU asing. Beberapa kemungkinan buruk yang terjadi jika pemerintah melakukan
pembatasan dengan cara mengalihkan pemakaian BBM ke pertamax.
Pertama, SPBU asing akan mendominasi di Indonesia. Sebab, pertamax di
dalam negeri tak akan mampu menggantikan jumlah premium yang beredar di
masyarakat. Pengguna akan beralih membeli BBM ke SPBU asing yang harga jualnya
sedikit lebih murah dan citranya memberikan kualitas dan pelayanan lebih bagus.
Kedua, pembatasan premium untuk kendaraan golongan tertentu akan
menyebabkan lonjakan sepeda motor dua kali lipat. Pemerintah merencanakan
premium hanya untuk kendaraan plat kuning dan sepeda motor. Saat ini, porsi
sepeda motor menikmati BBM subsidi mencapai 30 persen.
Ketiga, penyalahgunaan BBM subsidi. Jika BBM subsidi dibatasi hanya untuk
kendaraan transportasi umum, maka terjadi penyalahgunaan fungsi. Sederhananya,
sopir-sopir angkutan umum lebih tertarik menjadi penjual premium dibandingkan
menarik angkutan umum. Mereka akan membuka kios-kios BBM subsidi baru yang
berikutnya berakibat tujuan pengalokasian BBM subsidi tak tercapai.
Ironisnya, kilang minyak milik Indonesia tapi hanya bisa mengelola minyak
asing. Sebagai contoh kilang minyak Pertamina yang terletak di Cilacap tidak
bisa mengelola minyak bumi yang dihasilkan oleh ladang di Indonesia. Hal itu
disebabkan sejak awal kilang tersebut dirancang untuk mengolah minyak mentah
dari Timur Tengah. Ini memang ironis karena kilang Cilacap sangat strategis. Di
tempat itulah diproduksi bahan bakar yang menyuplai 44 persen kebutuhan energi
nasional, di antaranya 75 persen di Pulau Jawa.
Salah satu penyebab berubahnya status Indonesia dari pengekspor menjadi
pengimpor minyak adalah tidak mencukupinya fasilitas kilang minyak yang mampu
mengolah minyak dalam negeri.
Saat ini, setiap harinya Indonesia mengekspor 900 ribu barel minyak
mentah ke berbagai negara sementara total impor barang yang sama adalah 1,4
juta barel per hari. Kilang Cilacap memang sejak awal dirancang untuk mengolah
jenis minyak yang dihasilkan dari ladang di Timur Tengah, tujuannya agar kilang
itu bisa memproduksi bukan hanya bahan bakar minyak, namun juga produk bukan
BBM seperti aspal dan pelumas.
Mengingat kenaikan konsumsi bahan bakar yang terus tumbuh 3,5 persen per
tahun, maka pemerintah segera membangun kilang minyak yang bisa mengolah minyak
bumi dalam negeri untuk memastikan ketahanan energi nasional. Sebanyak 30
persen kebutuhan bahan bakar di negara kita dipenuhi dari impor.
Dengan kenaikan konsumsi akibat pertumbuhan ekonomi dan aktivitas
industri, produksi minyak dalam negeri harus ditingkatkan jika kita tidak mau
terus bergantung. Sampai saat ini terdapat 10 kilang minyak di Indonesia dengan
tujuh di antaranya dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara PT Pertamina.
Ironisnya, kebanyakan minyak yang diproduksi dari ladang Indonesia justru
diekspor ke luar negeri.
33 Perusahaan Migas Asing Penunggak
Pajak, Rugikan Negara Rp 6 Triliun
Daftar perusahaan asing migas (minyak dan gas) yang menunggak pajak
bertambah banyak. Indonesian Corruption Watch (ICW) mensinyalir jumlah
perusahaan asing itu mencapai 33, melebihi jumlah perusahaan penunggak pajak
yang disebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya, yaitu 16.
Koordinator Monitoring dan Analisa Anggaran ICW, FIrdaus Ilyas
mengatakan, yang disampaikan KPK tersebut hanyalah sebagian kecil dari
perusahaan yang bergerak di bidang migas yang belum bayar pajak. ICW
mengindentifikasi, ada 33 perusahaan migas belum menunaikan pembayaran pajak.
“Sebagian besar memang perusahaan asing, tapi ada juga perusahaan
lokal,รข€ kata Firdaus saat memaparkan hasil kajian ICW tentang perusahaan
migas penunggak pajak di Kantor ICW, Jakarta, Senin (18/7).
Data yang diperoleh ICW tersebut berasal dari hasil audit BPKP (Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) yang direview kembali oleh BPK (Badan
Pemeriksa Keuangan) sejak 2008 hingga 2010. Sebanyak 33 perusahaan itu
menunggak pajak yang jumlahnya selama dua tahun itu mencapai US$ 583 juta atau
sekitar Rp 6 triliun.
Berikut 33 perusahaan migas
penunggak pajak dan besar utang pajak yang belum dibayar:
1. VICO (US$ 42,9)
2. BP West Java Ltd (US$ 35,12)
3. Total E&P Indonesie (US$ 4.245)
4. Star Energy (US$ 17.095)
5. Petrichina International Indonesia Ltd Block Jabung (US$ 62.9)
6. ConocoPhillips South Jambi Ltd US$ (3.45)
7. Chevron Makassar Ltd Blok Makassar Strait.(US$ 16.7)
8. JOB Pertamina-Golden Spike Indonesia Ltd (US$ 11.45)
9. Chevron Pacific Indonesia- Blok MFK (US$ 185.699,97)
10. Exxon Mobil Oil Indonesia Inc. (US$ 41.763)
11. Mobil Exploration Indonesia Inc. Nortg Sumatera Offshore Block. (US$ 59.9)
12. Premier Oil Sea BV (US$ 9.278)
13. CNOOC SES Ltd (US$ 94.23)
14. BOB PT BSP-Pertamina Hulu (US$ 1.523)
15. CPI (Area Rokan) (US$ 4.145)
16. Kondur Petroleum (Area Malacca Strait) (US$ 165.334)
17. Conocophillips (Grissik) Area Corridor-PSC (US$ 84.774)
18. JOB PSC Amerada Hess (area Jambi Merang) (US$ 480.648)
19. JOB PSC Golden Spike (Area Raja Pendopo) (US$ 628.162)
20. JOB (PSC) Petrochina Int’l (Area Tuban) (US$ 7.679)
21. JOB (PSC) Talisman-OK (Area Ogan Komering) (US$ 233.425)
22. JOA (PSC) KODECO (Area West Madura) (US$ 6.229)
23. Chevron Ind (Area East Kalimantan) (US$ 8.703)
24. Kalrez Petroleum (Area Bula Seram) (US$ 290.000)
25. Petrochina Int’l Bermuda Ltd (Area Salawati Basin, Papua) (US$ 2.961)
26. JOB PSC Medco E&P Tomori (Area Senoro Toili, Sulawesi) (US$ 1.863)
27. PT Pertamina EP (Area Indonesia) (US$ 16.921)
28. BOB PT BSP Pertamina Hulu (Area CPP) (US$ 1.206)
29. Premier Oil (Area Natuna Sea) (US$ 38.368)
30. Phe Ogan Komering -JOB P TOKL (US$ 2.105)
31. BP Berau Ltd (Area off Berau Kepala Burung Irian Jaya) (US$ 4.619)
32. BP Muturi Ltd (Area Ons Off Murturi, Irian Jaya) (US$ 19.376)
33. BP Wiriagar Ltd (Area Wiriagar, Papua).(US$ 501.451)
(sumber: ICW mengutip audit BPK)
Dari 33 perusahaan tersebut, 10
termasuk penunggak terbesar. yakni:
- CNOOC SES Ltd (USD 94,2 juta)
- Conocophillips (Grissik) (USD 84,7 juta)
- Petrochina International (USD 62,9 juta)
- Mobil Exploration Indonesia (USD 59,9 juta)
- VICO (USD 42,9 juta)
- ExxonMobil Oil Indonesia Inc (USD 41,7 juta)
- Premier Oil (USD 38,3 juta)
- BP West Java Ltd ( USD 35,1 juta)
- Star Energy (USD juta)
- PT Pertamina EP (USD 16,9 juta).
(sumber: ICW mengutip audit BPK)
Menurut Firdaus, data hasil kajian tersebut telah diserahkan kepada
Direktorat Jenderal Pajak. Terkait hal tersebut, ICW meminta menteri keuangan
untuk melakukan review terhadap laporan BPK dan BPKP tersebut dengan
mengeluarkan surat kurang bayar. “Apabila ada dugaan pidana pajak, dirjen pajak
wajib membawa ke ranah hukum,” kata dia.
(http://indonews.org/33-perusahaan-migas-asing-penunggak-pajak-rugikan-negara-rp-6-triliun/)